Benahi Moralitasnya!

- 29 Maret 2024, 08:45 WIB
Potret seorang bu tani tengah mengembala kerbau di lahan sawah yang baru selesai di panen
Potret seorang bu tani tengah mengembala kerbau di lahan sawah yang baru selesai di panen /Pixabay.com/ihsanadity

PR KALBAR. Diketahui, revisi UU Desa telah disetujui tingkat I dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Februari lalu. Salah satu poin krusial dalam revisi UU itu kini mengatur masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 8 tahun maksimal 2 periode.

Selanjutnya, DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang (RUU) tentang Desa menjadi undang-undang (UU).

Pengesahan itu diambil dalam agenda pembicaraan tingkat II di rapat paripurna yang digelar di gedung Nusantara II kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3).

Baca Juga: DPR Sahkan RUU Desa, Masa Jabatan Kades Jadi 8 Tahun!

Melihat dari perkembangan terkini, Sekretaris Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Kalimantan Barat, Muhammad Darwin, menganalisa bahwa fenomena ini sepertinya tidak terlepas dari tekanan yang dilakukan unsur-unsur kepala desa seluruh Indonesia yang berulang kali melakukan aksi demo di depan gedung DPR RI.

Partai politik dan pemerintah tentu saja tidak mau mengambil resiko kehilangan popularitas di basis desa. Karenanya proses persetujuan revisi ini relatif mulus tanpa resistensi politik yang berarti.

Tuntutan revisi, khususnya terkait masa jabatan kades yang menjadi 8 tahun per periode dan dapat diperpanjang 2 (dua) periode ini, lebih kental berangkat dari kepentingan para elit desa daripada arus bawah (rakyat).

Baca Juga: Desa Adalah Ujung Tombak Pembangunan Daerah!

Masa 8 tahun bukanlah waktu yang relatif singkat, sehingga jika ada kinerja oknum kades yang buruk harus menunggu selama itu untuk dapat diganti. Masa per periode yang terlalu panjang potensial membangkitkan kembali jika bukan memperkuat kultur feodalisme dan otoritarianisme di tataran desa. Menjadikan kades sebagai raja-raja kecil di wilayahnya.

Delapan tahun membuat desa seolah menjadi milik pribadi dan potensi lawan politik menjadi melemah jika tidak malah dimatikan, sehingga besar kemungkinan seorang kades akan terus menjabat selama 2 periode atau 16 tahun.

Memang biaya demokrasi ditingkat desa menjadi lebih murah, namun potensi social cost yang harus ditanggung oleh rakyat desa berpotensi membengkak akibat kekuasaan yang tidak efisien dan efektif, sementara kontrol sosial dilemahkan oleh sistem kekuasan yang telah dilegalkan oleh undang-undang negara.

Baca Juga: Persatuan Marhaenis Menuju Trisakti Hakiki Indonesia!

Dengan disahkannya undang-undang Desa yang direvisi, maka secara hukum memang tidak terlalu bermasalah tetapi sekali lagi negara ini telah melegalkan fenomena pelanggaran etika kekuasaan. Kita belajar bahwa kekuasan yang terlalu panjang melahirkan para diktator yang cenderung korup dan represif.

Jika kita dengan jernih melihat substansi persoalan kekuasaan ditingkat desa, maka akar masalah yang urgent untuk dapat dibenahi adalah persoalan moralitas dari para kades bukan masa jabatannya. Berapa banyak kades di seluruh Indonesia yang terjerat masalah pidana penyelewengan dana desa. Jadi ini mungkin kabar gembira buat para elit desa tapi bukan untuk rakyatnya.***

Editor: Beny Kawistoro


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x